JAKARTA, KOMPAS.com - Rancangan Undang-Undang Intelijen yang tengah digodok di DPR dipandang penting untuk disahkan. Pasalnya, hingga saat ini, Badan Intelijen Negara (BIN), sebagai badan yang berfungsi memberi peringatan dini terkait adanya ancaman yang datang dari dalam maupun luar negeri, belum memiliki aturan main.
Aturan main ini penting karena kegiatan intelijen berpotensi menimbulkan penyalahgunaan wewenang. Dengan adanya aturan main dalam bentuk undang-undang, bentuk pertanggungjawaban ketika penyalahgunaan wewenang terjadi menjadi jelas.
Saat ini, Polri dan TNI sudah memiliki aturan main yang tertuang dalam bentuk undang-undang. Sementara BIN dalam menjalankan kewenangannya hanya merujuk pada Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Nondepartemen, dan Keppres Nomor 5 Tahun 2002 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Lembaga Pemerintah Nondepartemen.
"Sepakbola saja ada undang-undangnya, masak intel tidak," kata mantan Koordinator Kelompok Kerja RUU Intelijen Muhammad AS Hikam pada diskusi yang membahas RUU tersebut di Warung Daun, Jakarta, Sabtu (26/3/2011).
Pada RUU tersebut, pemerintah mengusulkan agar intelijen negara diberikan kewenangan untuk melakukan penyadapan dan penangkapan. Namun istilah penangkapan, dalam perkembangannya diubah menjadi pemeriksaan intensif selama 7x24 jam. Selama pemeriksaan, terperiksa tidak berhak didampingi kuasa hukum.
Ketua Dewan Federasi Kontras Usman Hamid menyoroti soal usulan kewenangan aparat intelijen negara dalam melakukan pemeriksaan. Kewenangan tersebut dikatakan berpotensi melanggar hak asasi manusia.
Pasalnya, dalam melakukan pemeriksaan, terlebih tanpa didampingi kuasa hukum, terperiksa rentan disiksa. Selain itu, ketika aparat intelijen memeriksa terperiksa, tempat pemeriksaan pun menjadi tak jelas. Dikatakan pula, istilah pemeriksaan intensif hanya merupakan upaya kamuflase dari penangkapan. "Pemeriksaan adalah wewenang penegak hukum," kata Usman.
Sementara itu, Hikam mengatakan, pemeriksaan oleh aparat intelijen harus dilakukan bersama aparat penegak hukum. Hal ini lazim dilakukan oleh aparat intelijen di Inggris dan Australia.
Terkait kewenangan pemeriksaan, dalam Daftar Inventarisasi Masalah di DPR, disebutkan bahwa pemberian tersebut bertujuan memberikan akses kepada BIN untuk memeriksa orang yang diduga terkait dengan terorisme, separatisme, spionase, subversi, dan sabotase.
Ketua Komisi I Mahfudz Siddiq mengatakan, kewenangan pemeriksaan intensif menangkap dan menahan orang yang diduga terlibat dengan separatisme atau terorisme sebelumnya telah ditiadakan oleh Komisi I. "Tapi, karena pemerintah ajukan, akan kami bahas lagi," lanjutnya.
Sementara itu, Kepala BIN Jenderal (Purn) Sutanto mengatakan, berkaitan dengan ruang pemeriksaan intensif akan merujuk pada UU Kerahasiaan Negara. Namun, RUU Kerahasiaan Negara itu sendiri hingga saat ini belum dibuat.