MAMASA, KOMPAS.com — Matahari belum terbit, tetapi Limbong, wanita berumur 65 tahun yang menetap di salah satu dusun di Mamasa, Sulawesi Barat, sudah harus berjalan kaki menuju sungai untuk mencari batu.
Jalan curam dan licin sejauh 2 kilometer dari gubuknya harus dilintasinya setiap pagi demi mendapat bongkahan-bongkahan batu untuk memenuhi kebutuhan hidup bersama sang suami.
Sejak suaminya lumpuh akibat stroke 10 tahun lalu, kebutuhan hidup pasangan ini dipikul oleh Limbong. Keterbatasan lapangan kerja dan keahlian memaksa si nenek menyambung hidup sebagai buruh pemacah batu. "Begini ini nak, saya terpaksa menjadi pemecah batu karena bapak sakit dan sudah tak bisa bekerja," ujar Limbong.
Pagi-pagi sekali, Limbong sudah berada di bibir sungai. Pelan-pelan ia mulai mengumpulkan batu-batu seukuran kepalan tangan. Dinginnya air Sungai Mamasa tidak menjadi penghalang bagi Limbong. Setelah cukup banyak, ia lantas membawanya kembali ke rumah. "Batunya saya angkat sedikit demi sedikit ke jalan karena saya tidak kuat membawa batu banyak," ujar Limbong.
Batu-batu yang sudah terkumpul kemudian dipecah dengan martil seberat 5 kilogram hingga menjadi batu berukuran kecil. Dalam sebulan, warga Desa Bombonglambe, Kecamatan Mamasa, ini hanya mampu menghasilkan dua kubik kerikil yang harganya tidak lebih dari Rp 200.000.
Namun tak jarang kerikil milik Limbong hanya bertumpuk di depan rumah hingga tiga bulan lantaran tidak ada pembeli. Saat kerikilnya tidak laku, Limbong terpaksa mengumpulkan kayu hutan dan kemudian dijual ke pasar.
Usai bekerja memecah batu kali atau mengumpulkan kayu hutan, pekerjaan Limbong belum selesai. Ibu yang ditinggal pergi anaknya merantau ke luar negeri ini pun tak lupa mengurus dapur dan melayani sang suami yang hanya tergolek di tempat tidur. Tak jarang lansia ini hanya minum kopi sebagai pengganjal perut rasa lapar jika persediaan beras mereka habis.
Kondisi ini kerap mengundang perhatian bagi warga sekitar. Lina, tetangga Limbong, misalnya, kerap membantu Limbong. "Kami biasa kasihan Pak, sudah tua dan tidak ada yang bantu cari nafkah, suaminya juga sakit," tutur Lina.
Sungai Mamasa seolah menjadi saksi betapa keras perjuangan nenek Limbong memenuhi kebutuhan hidup bersama suami dan seorang cucu. Toh, kesulitan dan kemiskinan tidak membuat Limbong pasrah.